Minggu, 01 Juni 2008

Sejuknya Angin Pantai Manggar Segara Sari

Sejuknya Angin Pantai Manggar Segara Sari

Oleh : Greyn Ana Maria P Tampemawa


Siang itu Riki, Bagus, Sari, Dwi dan Ade berjalan jalan menyusuri jalan kota Balikpapan. Tak terasa, hembusan angin yang begitu sejuk membawa mereka ke daerah yang begitu dekat dengan suara ombak dan hamparan pohon kelapa yang tinggi seakan ingin menggapai langit.


“Indahnya tempat ini”, kata dwi sambil menginjakan kakinya dihamparan pasir putih.
“Manggar Beach,” sahut Ade dengan senyum manisnya.
“Aku belum pernah kesini sebelumnya, tempat ini nyaman juga ya!” kata Riki sambil duduk di sebelah bangku di bawah pohon kelapa.
“Apa,” lanjut Bagus. Sari, Dwi dan Ade dengan ekspresi yang meyakinkan.
“Benar ne kamu nggak pernah kesini?? Inikan tempat terkenal di Balikpapan”.
“Ya benar!”
“Kok bisa sih?” Jawab Ade dengan wajah kebingungan.
“Aku baru tinggal disini sekitar 6 bulan, so aku belum pernah ngerasain semua tempat asik di sini”
“Owh begitu”
Riki memang orang baru di kota Balikpapan, dia baru pindah dari Yogyakarta. Orang tuanya, bekerja di sebua perusahaan besar di Berau. Ia tinggal bersama neneknya di Balikpapan. Semua kebutuhannya terjamin, tapi satu kebutuhan yang masih belum bisa ia miliki, sebuah kasih sayang dari orang tuanya. Sejak kecil Riki memang tidak bisa medapat kasih sayang penuh dari ayah dan ibunya karna kesibukkan pekerjaan.
“Apa kalian mau es kelapa?” tanya Bagus.
“Boleh juga”.
“Oke, es kelapanya lima gelas!” teriak Bagus pada penjual es.
“Aku nggak usah,” jawab Riki sembari tersenyum.
“Kenapa? Es kelapa di sini enak loh?!” Sahut Dwi.
“Aku lagi ingin ngerasain hembusan angin”
“Ooh, dasar aneh...”
Tak terasa satu jam sudah berlalu, mereka berempat masih asik bercengkrama. Sedangkan Riki sejak tadi hanya duduk manis di bangku yang dari awal datang tadi ia duduki. Riki memang terlihat senang sekali dan tersenyum kagum dengan keindahan pantai Manggar Segara Sari.
“ Ki, pulang yok! Udah sore nih”
“ Kok pulang se, baru bentar disini??”
“Iya, tapi kan ini udah sore banget, mau sampai jam berapa kita disini?” jawab Ade.
“Riki, kita uda dua jam disini, lagian pinggangmu nggak capek apa dari tadi duduk aja di situ?” ujar Sari.
“Iya, iya ayo udah kita pulang?’.
Semalaman Riki melamun di atas ranjang tempat tidurnya. Entah apa yang ia pikirkan, hanya senyum yang ia lontarkan. Tidak henti hentinya ia membayangkan sejuknya angin yang berhembus di pantai Manggar. Keesokan harinya, Riki begitu senang hari-harinya ia jalani dengan senyum tidak seperti hari-hari sebelumnya yang yang ia jalani dengan murung. Orang-orang sekitarnya bingung dengan perubahan sikap Riki, tapi mereka senang karena Riki yang sekarang lebih baik dari Riki yang sebelumnya.
Suatu hari telepon genggam Riki berbunyi, ia segera menjawab panggilan itu, begitu terkejutnya ia ketika mendengar kabar bahwa orang tuanya telah meninggal akibat kecelakaan.Hatinya begitu terpukul ia hanya bisa terduduk murung. Kali ini ia benar-benar telah kehilangan kedua orang tuannya untuk selamanya.
Setibanya di rumah, Riki semakin sedih ia melihat jasad orang tuannya sedang di doakan oleh tetangga, keluarga dan orang-orang terdekatnya.
“Riki kamu harus sabar, nenek yakin kamu akan mendapat pelajaran baik dari ini,” bujuk neneknya.
“Nenek nggak akan pergi kan? Nenek akan sama aku?”
“Iya, nenek akan selalu menjagamu dengan baik, dan kini hanya nenek yang aku punya”.
Ketika di perjalanan pulang, Riki merasakan ada angin yang memanggilnya, angin itu seperti berbicara: “Ayo, Riki ikut aku ke suatu tempat, tempat indah yang belum pernah kamu liat,” bisik suara itu...
Riki langsung menyuruh supirnya berhenti, ia ingin mengikuti suara misterius yang memanggilnya. Ia turun dari mobil dan terus berlari menyusuri jalan demi jalan. Hingga tibalah ia di Pantai Manggar Segara Sari. Riki langsung berlari ke tepi pantai dan berteriak, tak menghiraukan siapa saja yang melihatnya. Ia menangis tersedu-sedu. Tiba-tiba ia mendengar suara itu lagi.
“Riki, lihatlah ke sebelah kirimu seorang gadis polos tersenyum lepas di sana. Hampirilah dia!”
Riki mencoba menuruti kata-kata suara itu, ia menghampiri gadis itu dan berkata
“ Hey mengapa kamu bisa tertawa lepas seperti itu?”
“Karna aku hanya bisa tersenyum seperti ini!” jawab gadis polos itu.
“Bisa kau bantu aku?” pinta gadis itu.
“Bantu apa?”
“Aku ingin menginjakan kakiku di air laut yang sejuk ini, tapi aku selalu takut dengan kepiting yang akan menjepit kaki ku.”
“Hah...? Gadis aneh?”
“Apa kau bilang?”
“Tidak, emm aku mau membantumu ayo kita pergi!” seru Riki memberikan tangannya.
Gadis itu berjalan langkah demi langkah. Lalu ia terhenti karena merasa Riki tidak mengikutinya.
“Hey, ayo apa yang kamu tunggu?” seru gadis itu.
Riki bingung mengapa gadis itu tidak meraih tangannya? Lalu ia mengikuti gadis itu seakan akan memandunya.
“Dimana kamu? Kamu masih sama aku kan?”
“Hey aku ada di sebelah kirimu sejak tadi kenapa, kamu nggak liat aku?”
“Oh, maaf ya, aku emang nggak bisa liat kamu”
“Apa??”
“Ya, aku buta. Ayo kita lanjutkan perjalanan kita!”
Riki melamun sepanjang jalan, ia membayangkan betapa tegarnya gadis ini meski selama ini buta, tapi ia masih bisa tersenyum lepas, riang seakan-akan tidak mempunyai kekurangan sekalipun.
Sedangkan Bagus, Sari, Dwi dan Ade tak peduli lagi sekelilingnya, mereka berempat hanyut dalam keindahan pantai Manggar. Sesekali memperhatikan Riki yang sedang asik memandu gadis itu.
“Dwi, sebenarnya Pantai Manggar ini takkalah bagus dan indahnya dengan pantai tempat rekreasi lainnya yang ada di Kaltim, seperti Pulau Derawan. Yang dilengkapi denganfpasilitas seperti tempat penginapan atau sejenisnya ..” ungkap Bagus, sambil mengayun-ayunkan kakinya pada setiap hamparan ombak.
“Bukan hanya itu,” ungkap Dwi, “kalau mau sama dengan yang lain sampah-sampah juga harus diperhatikan sehingga keindahan dan kebersihannya tetap terjaga.”
“Kalau begitu, Dwi aja deh yang jadi petugas pantai,” Bagus yang setengah bercanda kepada Dwi, sambil berkata, “ Kita kan harus peduli lingkungan.”
Ade dan Sari yang sedang mengikuti langkah temannya itu, tak mau terpengaruh apa yang mereka pebincangkan.
“Ayo kita ke tengah, kapan lagi menikmati angina-angin sepoi Manggar,” kata Ade kepada teman-temannya, mengisaratkan kalau kesempatan mereka tidak terlalu banyak karena kesibukannya di sekolah. Para remaja tanggung itu memang begitu riangnya menikmati sejuknya angin yang berkesiur di pantai yang indah ini.*(Pemenang Harapan)


Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Web Host