INDONESIA DI ATAS TERATAI
Karya : Zulhamdani, AS
Indonesia adalah teratai larut di sungai keruh
Terapung dan tak berakar di dasar
Tak juga berbunga mekar
Seperti sakura di negeri orang
Berkerut wajah keriput sebelum tua dimulai
Timbul tenggelam bagai ikan sakit
Hadapi akhir kehidupan
Aku malu melihat wajah itu
Wajahku
Wajah mereka
Wajah rakyat
Wajah bangsa ini
Wajah-wajah pemimpin yang jadi badut
Indonesia adalah bangunan tulang belulang
Dan darah membusuk
Terbakar kesumat menjelang kebebasan
Menyebar di perkuburan malam nenek-nenek kita
Menangis di atas nisan yang rebah di tanah basah
Bergantungan di pohon-pohon malam berdaun siang
Jatuh terkapar seperti bayang-bayang lelah tak bernyawa
Nantikan kemerdekaan jasad-jasad gunung yang pecah
Membelah warna merah dan putih
Menjadi darah dan nanah
Menjadi hantu-hantu zaman yang bergulingan
Di setiap abad yang lahir
Dari ujung gelap
Mencari ujung siang tak kunjung tiba
Aku malu melihat wajah itu
Wajahku wajah Indonesia
Wajah rakyat wajah Indonesia
Wajah mereka wajah Indonesia
Wajah bangsa ini wajah Indonesia
Wajah pemimpin badut wajah Indonesia
Kemanakah bayi-bayi lahir yang berwajah Indonesia ?
Taman Anggrek
Jakarta, 11 Februari 2001
------------------------
KEMATIAN PASTI AKAN DATANG
Karya : Zulhamdani, AS
Tak satupun di antara kita
semua merasa tak pernah mati
berumur panjang
sepanjang dosa yang diciptakannya
Seratus tahun adalah sekejap tahun cahaya
Kita tak akan pernah mati,
di waktu kebangkitan nanti
tidur lama semerbak harum bunga kubur
adalah istirahat panjang
kembali jadi tanah yang memberikan mimpi-mimpi buruk
Ingin segera keluar
menghirup udara segar di luar kubur
khusus menghadap kiblat
berzikir tanpa lelah
tapi apa daya jasad telah membusuk
bersatu dengan cacing-cacing tanah pemakan bangkai
berpesta pora menyambut kedatangan para pendosa
Tidurlah dengan nyenyak
saat dosa membentuk ruh syetan
lari menjauh ke perapian
bangunlah dengan nikmat
ketika bidadari mencium keningmu
membawakana sekuntum bunga surga
Janganlah ragu, Tuhan telah memanggilmu
Allahu Akbar
Allahu Akbar
Allahu Akbar
Kematian pasti akan datang
dan berlari menjemput kita semua
Balikpapan, 5 Juli 2002
-----------------------
LAUT MATI
Karya : Zulhamdani, AS
Laut mati
sang pijar tenggelam di dalamnya
sampan berlayar putih telah patah tiangnya
suara debur sepi ditelan jasad bumi
burung hitam terbang mengarungi laut
dengan satu sayapnya
Laut mati
bidadari telanjang
dengan rambut terurai mayang
mandi di suatu senyap yang terbentang
Laut mati
peperangan belum berakhir
hujan membanjiri
pelosok – pelosok rumah hanya ada bau anyir
Laut mati
adalah sebuah bayangan maut
yang bertengger di kepala
dan ditutupi sebuah kabut bercula
Balikpapan, 18 Februari 1993
------------------------
MENANGIS TANPA SUARA
Karya : Zulhamdani, AS
dikejar bayang-bayang rapuh
bergumul dengannya
ditikam dari belakang
bersembunyi dikegelapan
darahku menjadi bayang-bayang merah
bayang-bayang itu memegang kerah bajuku
dipukulnya berulang kali wajahku
aku menangis tanpa suara
terdengar di laut lepas
jatuh tak bergetar
mati tak terlihat
suaranya menggema dalam tujuh abad
terlukis di dasar laut
terlempar di benua hitam
bulan berpayung
fajar tak kunjung tiba
Kantor DKB
Balikpapan, 04 Juli 2006
----------------------
RUH CINTA
Karya : Zulhamdani, AS
PRIA :
Penduduk langit memanah bintang berekor
Panahnya menembus dinding langit
Menusuk sukma alam rindu
Terkulai dalam jelmaan bulan sepenggal
Takdir berkata lain
Asmara berkabut kuning tipis
kini menari-nari
di pelataran malam
bersama bidadari dengan bunga setangkai
mekar di tangan
Apakah harus tertusuk
tangkai berduri itu
atau menikmati harumnya
dalam ruh cinta melambai-lambai
menjauh dari kalbuku
ketika asmara terbakar
mentari pagi
Oh, dewi langit yang berwajah bijak
Oh, dewi bulan yang berkelana
dalam gerimis malam
Adakah bayang-bayang gairahku
memeluk tubuh eloknya
diwaktu malam berdatang sembah
Akankah darahnya mengalir
di tubuhku sepanjang masa
dan melahirkan anak-anak surgawi
Datanglah dalam kabut tipis
dengan baju bunga tujuh warna
Kau akan kuajak ke danau bening
mandi bersama di suatu pagi
berpelukkan tanpa busana
sepanjang malam tak pernah siang
WANITA :
Wahai lelaki perkasa
yang mengejar ruh cinta
melesat di cakrawala
Lelaki yang tak pernah memejamkan mata
dalam seribu bahasa
Duduk bersila bagai dewa bumi
sedang menunggu bintang-bintang jatuh
saat purnama
Kejarlah aku bersama harumnya bunga
Tangkaplah aku dalam kabut merah jingga
Ciumlah aku sepenuh cinta
Peluklah aku seperti bumi
bersetubuh dengan malam
Darahmu akan mengalir
menjadi anak-anak syurga
berterbangan bersama burung-burung hijau
menjelajah lima benua
Bernyanyi dengan penduduk langit
menangis dalam bahagia
Jangan kau lepaskan cintaku
yang mengerang terpanah olehmu
PRIA :
Lihatlah samudra jadi bening
Alam semesta raya hening
Penduduk langit dan bumi
tertunduk sepi,
ketika darahku mengalir
ke tubuhmu perlahan
WANITA :
Mereka jadi saksi
saat darah kita bersatu dalam
kelambu malam berenda cahaya bulan
Biarlah mereka melihat keagungan cinta kita
yang pernah terbang di cakrawala
Aku ingin kelambu malam ini
berlama-lama menanti fajar
hingga kokok ayam tak terdengar
Aku haus ruh cintamu
Aku ingin darahmu mengalir
tak henti-henti ke dalam tubuhku
hingga di suatu masa menjadi beku
Tidurkanlah aku
ketika bulan berpayung langit sutra
Nyanyikanlah lagu-lagu abadi
yang pernah tertinggal
di ruang dadamu
Nyanyikanlah,
aku akan merasa terbang
dengan satu sayapku berkelana
di rimba asmara
Jadikanlah aku bidadari
selalu tersenyum dan tertawa
dipagi hari,
menjemput cintamu yang bening
berkabut tipis
Oh, lelakiku terkasih
Kutemukan di suatu malam
berdiri di tebing-tebing curam
memandangi matahari terbenam
dengan kerinduannya
yang beterbangan bersama senja merah
Setubuhilah ruh cintaku
telah lama berkelana
di perkampungan para Malaikat
mencari jasadmu
yang mekar dalam tujuh lapis bumi
Kutuklah aku bila berkhianat
melepas tali kasih
dan menambatkannya jauh
di kaki cakrawala
PRIA :
Harumnya telah datang sebelum menjasad
menimang bayiku
dan tertidur oleh kesejukan cinta
yang kau hembuskan
bersama rebahnya
bulan sepenggal di sisi gunung
Aku tidak akan menyerah dengan takdir
Katakanlah pada tanah-tanah diam
Kabarkan pada burung-burung malam
Beritakan pada garempong
yang bernyanyi setiap waktu
Aku adalah ruh cinta abadi
yang tak akan pernah mati
sepanjang jaman belum berakhir
MENYANYIKAN :
Bulan yang berlayar
meninggalkan kabut malam
Sampaikan salam rindu
yang terkulai menantinya
ketika hujan gerimis
menghantar jiwa sepi
Bulan yang berlayar
meninggalkan kabut malam
Tolonglah cinta ini kau bawa
merajut sukma di sana
menjadi baju pengantin
kami dalam satu jiwa
Belahlah dada malam
yang menuai benih cinta
yang melahirkan anak-anak syurgawi
dari tarikan napas-napas birahi
ketika kami bersenandung cinta
di malam semesta alam raya
Tangkaplah dua anak bidadari
biar terurai kasihku padanya
sepanjang perjalanan masa
WANITA :
Oh, lelaki yang bersama jasadnya
Suaramu membelah gelap alam semesta
Menetes air mata bidadari
Bergantungan di pucuk-pucuk cakrawala
Sebagai kunang-kunang menerangi kalbumu
Suaramu indah mengurai sukma
Menidurkan bayi kita
Yang sedang menjelma jadi manusia
Bernyanyilah sepanjang malam,
agar hari esoknya terhampar
di rumput hijau
Basah oleh embun bening
Sejuk membasuh luka-luka lama
Oh, lelaki yang bersama jasadnya
Suaramu membelah gelap alam semesta
Bertebaran di kulit jasad bumi
Merayu malam dalam cahaya bintang
Membangunkan perawan
di tengah rimba asmara
Mendekapnya dalam harum
tujuh macam bunga
Bernyanyilah sepanjang siang
agar anak-anak kita tumbuh mekar
bagai raksasa bumi
Memiliki sejuta ruh perkasa
Melesat seperti panah arjuna
Menembus mayapada
Menggores kuku bima
Menitis darah perkasa
Dalam warna langit jingga
Dewasakanlah anak kita
dengan bahasa cinta
Suruhlah membaca alam
semesta raya
Tunjukkan ujung-ujung langit
yang akan menggulung dunia
Mandikan di air pagi fajar merah
agar kulitnya jernih
seperti penduduk langit
yang berzikir setiap saat
Biarkanlah dia menangis
dalam salam sejatinya,
agar para pendosa terjaga
dari tidurnya
menanti pagi tak kunjung pagi
Wahai anakku
berwajah samudra,
bertelinga langit,
bermata mentari,
berkaki gunung menjulang,
berhati Malaikat,
bersuara Nabi
Selamatkanlah kami
dalam kasih sayangmu
yang bening
dan hening
Balikpapan, 5 September 2002
----------------------------
SAJAK DALAM DIAM
Karya : Zulhamdani, AS
Selamat datang kematian
Pukau aku dengan tanganmu
Helai nyawaku menunggu
Jemputlah !
Neraca kebajikan kuabaikan
Melembak di tanah tak terlihat
Menyeret sosok diam
Mengubur yoni ke dasar lingga
Yojana, sosokku terlihat
terikat dan menyabak
Selamat datang kematian
Pukau aku dengan lidahmu
Datanglah
Balikpapan, 31 Januari 1988
-----------------------