Senin, 14 Februari 2011

Hikmah Dibalik Maulid Nabi Muhammad SAW.

A’uudzu billahi minasy syaithanirrajiim
Bismillahirrahmanirrahim

Allahumma salli ‘ala sayyidina Muhammadin wa ‘ala aalihi wa sahbihi
wasallim

oleh Ustadz KH. Nadirsyah Hosen*

Setelah Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam wafat, seketika itu pula kota Madinah bising dengan tangisan ummat Islam; antara percaya - tidak percaya, Rasul Yang Mulia telah meninggalkan para sahabat. Beberapa waktu kemudian, seorang arab badui menemui Umar dan dia meminta, “Ceritakan padaku akhlak Muhammad!”. Umar menangis mendengar permintaan itu. Ia tak sanggup berkata apa-apa. Ia menyuruh Arab badui tersebut menemui Bilal. Setelah ditemui dan diajukan permintaan yg sama, Bilal pun menangis, ia tak sanggup menceritakan apapun. Bilal hanya dapat menyuruh orang tersebut menjumpai Ali bin Abi Thalib.

 Orang Badui ini mulai heran. Bukankah Umar merupakan seorang sahabat senior Nabi, begitu pula Bilal, bukankah ia merupakan sahabat setia Nabi. Mengapa mereka tak sanggup menceritakan akhlak Muhammad Orang Badui ini mulai heran. Bukankah Umar merupakan seorang sahabat
senior Nabi, begitu pula Bilal, bukankah ia merupakan sahabat setia
Nabi. Mengapa mereka tak sanggup menceritakan akhlak Muhammad sallAllahu ‘alayhi wasallam. Dengan
berharap-harap cemas, Badui ini menemui Ali. Ali dengan linangan air
mata berkata, “Ceritakan padaku keindahan dunia ini!.” Badui ini
menjawab, “Bagaimana mungkin aku dapat menceritakan segala keindahan
dunia ini….” Ali menjawab, “Engkau tak sanggup menceritakan
keindahan dunia padahal Allah telah berfirman bahwa sungguh dunia ini
kecil dan hanyalah senda gurau belaka, lalu bagaimana aku dapat
melukiskan akhlak Muhammad sallAllahu ‘alayhi wasallam, sedangkan Allah telah berfirman bahwa
sungguh Muhammad memiliki budi pekerti yang agung! (QS. Al-Qalam[68]:
4)”

Badui ini lalu menemui Siti Aisyah r.a. Isteri Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam yang sering disapa
“Khumairah” oleh Nabi ini hanya menjawab, khuluquhu al-Qur’an
(Akhlaknya Muhammad itu Al-Qur’an). Seakan-akan Aisyah ingin
mengatakan bahwa Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam itu bagaikan Al-Qur’an berjalan. Badui ini
tidak puas, bagaimana bisa ia segera menangkap akhlak Nabi kalau ia
harus melihat ke seluruh kandungan Qur’an. Aisyah akhirnya
menyarankan Badui ini untuk membaca dan menyimak QS Al-Mu’minun [23]:
1-11.

Bagi para sahabat, masing-masing memiliki kesan tersendiri dari
pergaulannya dengan Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam. Kalau mereka diminta menjelaskan seluruh
akhlak Nabi, linangan air mata-lah jawabannya, karena mereka
terkenang akan junjungan mereka. Paling-paling mereka hanya mampu
menceritakan satu fragmen yang paling indah dan berkesan dalam
interaksi mereka dengan Nabi terakhir ini.

Mari kita kembali ke Aisyah. Ketika ditanya, bagaimana perilaku Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam, Aisyah hanya menjawab, “Ah semua perilakunya indah.” Ketika didesak lagi, Aisyah baru bercerita saat terindah baginya, sebagai seorang isteri. “Ketika aku sudah berada di tempat tidur dan kami sudah masuk dalam selimut, dan kulit kami sudah bersentuhan, suamiku berkata, ‘Ya Aisyah, izinkan aku untuk menghadap Tuhanku terlebih dahulu.’” Apalagi yang dapat lebih membahagiakan seorang isteri, karena dalam sejumput episode tersebut terkumpul kasih sayang, kebersamaan, perhatian dan rasa hormat dari seorang suami, yang juga seorang utusan Allah.

Nabi Muhammad sallAllahu ‘alayhi wasallam jugalah yang membikin khawatir hati Aisyah ketika menjelang subuh Aisyah tidak mendapati suaminya disampingnya. Aisyah keluar membuka pintu rumah. terkejut ia bukan kepalang, melihat suaminya tidur di depan pintu. Aisyah berkata, “Mengapa engkau tidur di sini?” Nabi Muhammmad menjawab, “Aku pulang sudah larut malam, aku khawatir mengganggu tidurmu sehingga aku tidak mengetuk pintu. itulah sebabnya aku tidur di depan pintu.” Mari berkaca di diri kita masing-masing. Bagaimana perilaku kita terhadap isteri kita? Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam mengingatkan, “berhati-hatilah kamu terhadap isterimu, karena sungguh kamu akan ditanya di hari akhir tentangnya.” Para sahabat pada masa Nabi memperlakukan isteri mereka dengan hormat, mereka takut kalau wahyu turun dan mengecam mereka.

Buat sahabat yang lain, fragmen yang paling indah ketika sahabat
tersebut terlambat datang ke Majelis Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam. Tempat sudah penuh sesak.
Ia minta izin untuk mendapat tempat, namun sahabat yang lain tak ada
yang mau memberinya tempat. Di tengah kebingungannya, Rasul sallAllahu ‘alayhi wasallam
memanggilnya. Rasul sallAllahu ‘alayhi wasallam memintanya duduk di dekatnya. Tidak cukup dengan
itu, Rasul sallAllahu ‘alayhi wasallam pun melipat sorbannya lalu diberikan pada sahabat tersebut
untuk dijadikan alas tempat duduk. Sahabat tersebut dengan
berlinangan air mata, menerima sorban tersebut namun tidak
menjadikannya alas duduk akan tetapi malah mencium sorban Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam tersebut.

Senangkah kita kalau orang yang kita hormati, pemimpin yang kita
junjung tiba-tiba melayani kita bahkan memberikan sorbannya untuk
tempat alas duduk kita. Bukankah kalau mendapat kartu lebaran dari
seorang pejabat saja kita sangat bersuka cita. Begitulah akhlak Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam,
sebagai pemimpin ia ingin menyenangkan dan melayani bawahannya. Dan
tengoklah diri kita. Kita adalah pemimpin, bahkan untuk lingkup
paling kecil sekalipun, sudahkah kita meniru akhlak Rasul Yang Mulia.

Nabi Muhammad sallAllahu ‘alayhi wasallam juga terkenal suka memuji sahabatnya. Kalau kita baca
kitab-kitab hadis, kita akan kebingungan menentukan siapa sahabat yang
paling utama. Terhadap Abu Bakar, Rasul sallAllahu ‘alayhi wasallam selalu memujinya. Abu Bakar-
lah yang menemani Rasul sallAllahu ‘alayhi wasallam ketika hijrah. Abu Bakarlah yang diminta
menjadi Imam ketika Rasul sallAllahu ‘alayhi wasallam sakit. Tentang Umar, Rasul sallAllahu ‘alayhi wasallam pernah
berkata, “Syetan saja takut dengan Umar, bila Umar lewat jalan yang
satu, maka Syetan lewat jalan yang lain.” Dalam riwayat lain
disebutkan, “Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam bermimpi meminum susu. Belum habis satu
gelas, Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam memberikannya pada Umar yang meminumnya sampai habis. Para
sahabat bertanya, Ya Rasul apa maksud (ta’wil) mimpimu itu? Rasul sallAllahu ‘alayhi wasallam menjawab “ilmu pengetahuan.”

Tentang Utsman, Rasul sallAllahu ‘alayhi wasallam sangat menghargai Utsman karena itu Utsman
menikahi dua putri Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam, hingga Utsman dijuluki Dzu an-Nurain
(pemilik dua cahaya). Mengenai Ali, Rasul sallAllahu ‘alayhi wasallam bukan saja menjadikannya ia
menantu, tetapi banyak sekali riwayat yang menyebutkan keutamaan
Ali. “Aku ini kota ilmu, dan Ali adalah pintunya.” “Barang siapa
membenci Ali, maka ia merupakan orang munafik.”

Lihatlah diri kita sekarang. Bukankah jika ada seorang rekan yang
punya sembilan kelebihan dan satu kekurangan, maka kita jauh lebih
tertarik berjam-jam untuk membicarakan yang satu itu dan melupakan
yang sembilan. Ah…ternyata kita belum suka memuji; kita masih suka
mencela. Ternyata kita belum mengikuti sunnah Nabi.

Saya pernah mendengar ada seorang ulama yang mengatakan bahwa Allah
pun sangat menghormati Nabi Muhammad sallAllahu ‘alayhi wasallam. Buktinya, dalam Al-Qur’an Allah
memanggil para Nabi dengan sebutan nama: Musa, Ayyub, Zakaria, dll.
tetapi ketika memanggil Nabi Muhammad sallAllahu ‘alayhi wasallam, Allah menyapanya dengan “Wahai
Nabi”. Ternyata Allah saja sangat menghormati beliau.

Para sahabat pun ditegur oleh Allah ketika mereka berlaku tak sopan
pada Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam. Alkisah, rombongan Bani Tamim menghadap Rasul sallAllahu ‘alayhi wasallam. Mereka ingin Rasul sallAllahu ‘alayhi wasallam menunjuk pemimpin buat mereka. Sebelum Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam memutuskan
siapa, Abu Bakar berkata: “Angkat Al-Qa’qa bin Ma’bad sebagai
pemimpin.” Kata Umar, “Tidak, angkatlah Al-Aqra’ bin Habis.” Abu
Bakar berkata ke Umar, “Kamu hanya ingin membantah aku saja,” Umar
menjawab, “Aku tidak bermaksud membantahmu.” Keduanya berbantahan
sehingga suara mereka terdengar makin keras. Waktu itu turunlah
ayat: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah
dan Rasul-Nya. Takutlah kamu kepada Allah. Sesungguhnya Allah maha
Mendengar dan maha Mengetahui. Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu menaikkan suaramu di atas suara Nabi. janganlah kamu
mengeraskan suara kamu dalam percakapan dengan dia seperti
mengeraskan suara kamu ketika bercakap sesama kamu. Nanti hapus amal-
amal kamu dan kamu tidak menyadarinya” (QS. Al-Hujurat 1-2)

Setelah mendengar teguran itu Abu Bakar berkata, “Ya Rasul Allah, demi
Allah, sejak sekarang aku tidak akan berbicara denganmu kecuali
seperti seorang saudara yang membisikkan rahasia.” Umar juga
berbicara kepada Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam dengan suara yang lembut. Bahkan konon kabarnya
setelah peristiwa itu Umar banyak sekali bersedekah, karena takut
amal yang lalu telah terhapus. Para sahabat Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam takut akan terhapus
amal mereka karena melanggar etiket berhadapan dengan Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam.

Dalam satu kesempatan lain, ketika di Mekkah, Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam didatangi utusan
pembesar Quraisy, Utbah bin Rabi’ah. Ia berkata pada Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam, “Wahai
kemenakanku, kau datang membawa agama baru, apa yang sebetulnya kau
kehendaki. Jika kau kehendaki harta, akan kami kumpulkan kekayaan
kami, Jika Kau inginkan kemuliaan akan kami muliakan engkau. Jika ada
sesuatu penyakit yang dideritamu, akan kami carikan obat. Jika kau
inginkan kekuasaan, biar kami jadikan engkau penguasa kami”

Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam mendengar dengan sabar uraian tokoh musyrik ini. Tidak sekalipun
beliau membantah atau memotong pembicaraannya. Ketika Utbah berhenti,
Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam bertanya, “Sudah selesaikah, Ya Abal Walid?” “Sudah.” kata
Utbah. Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam membalas ucapan utbah dengan membaca surat Fushilat.
Ketika sampai pada ayat sajdah, Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam pun bersujud. Sementara itu Utbah
duduk mendengarkan Nabi sampai menyelesaikan bacaannya.

Peristiwa ini sudah lewat ratusan tahun lalu. Kita tidak heran
bagaimana Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam dengan sabar mendengarkan pendapat dan usul Utbah,
tokoh musyrik. Kita mengenal akhlak nabi dalam menghormati pendapat
orang lain. Inilah akhlak Nabi dalam majelis ilmu. Yang menakjubkan
sebenarnya adalah perilaku kita sekarang. Bahkan oleh si Utbbah, si musyrik, kita kalah. Utbah mau mendengarkan Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam dan menyuruh kaumnya
membiarkan Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam berbicara. Jangankan mendengarkan pendapat orang kafir, kita bahkan tidak mau mendengarkan pendapat saudara kita sesama muslim. Dalam pengajian, suara pembicara kadang-kadang tertutup suara obrolan kita. Masya Allah!

Ketika Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam tiba di Madinah dalam episode hijrah, ada utusan kafir
Mekkah yang meminta janji Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam bahwa Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam akan mengembalikan siapapun
yang pergi ke Madinah setelah perginya Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam. Selang beberapa waktu
kemudian. Seorang sahabat rupanya tertinggal di belakang Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam.
Sahabat ini meninggalkan isterinya, anaknya dan hartanya. Dengan
terengah-engah menembus padang pasir, akhirnya ia sampai di Madinah.
Dengan perasaan haru ia segera menemui Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam dan melaporkan
kedatangannya. Apa jawab Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam? “Kembalilah engkau ke Mekkah. Sungguh
aku telah terikat perjanjian. Semoga Allah melindungimu.”
Sahabat ini menangis keras. Bagi Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam janji adalah suatu yang sangat
agung. Meskipun Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam merasakan bagaimana besarnya pengorbanan sahabat
ini untuk berhijrah, bagi Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam janji adalah janji; bahkan meskipun
janji itu diucapkan kepada orang kafir. Bagaimana kita memandang
harga suatu janji, merupakan salah satu bentuk jawaban bagaimana
perilaku Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam telah menyerap di sanubari kita atau tidak.

Dalam suatu kesempatan menjelang akhir hayatnya, Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam berkata pada
para sahabat, “Mungkin sebentar lagi Allah akan memanggilku, aku tak
ingin di padang mahsyar nanti ada diantara kalian yang ingin menuntut
balas karena perbuatanku pada kalian. Bila ada yang keberatan dengan
perbuatanku pada kalian, ucapkanlah!” Sahabat yang lain terdiam,
namun ada seorang sahabat yang tiba-tiba bangkit dan berkata, “Dahulu
ketika engkau memeriksa barisan di saat ingin pergi perang, kau
meluruskan posisi aku dengan tongkatmu. Aku tak tahu apakah engkau
sengaja atau tidak, tapi aku ingin menuntut qishash hari ini.” Para
sahabat lain terpana, tidak menyangka ada yang berani berkata seperti
itu. Kabarnya Umar langsung berdiri dan siap “membereskan” orang itu.
Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam pun melarangnya. Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam pun menyuruh Bilal mengambil tongkat ke
rumah beliau. Siti Aisyah yang berada di rumah Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam keheranan ketika
Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam meminta tongkat. Setelah Bilal menjelaskan peristiwa yang
terjadi, Aisyah pun semakin heran, mengapa ada sahabat yang berani
berbuat senekad itu setelah semua yang Rasul sallAllahu ‘alayhi wasallam berikan pada mereka.

Rasul memberikan tongkat tersebut pada sahabat itu seraya
menyingkapkan bajunya, sehingga terlihatlah perut Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam. Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam berkata, “Lakukanlah!”

Detik-detik berikutnya menjadi sangat menegangkan. Tetapi terjadi
suatu keanehan. Sahabat tersebut malah menciumi perut Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam dan
memeluk Nabi seraya menangis, “Sungguh maksud tujuanku hanyalah untuk
memelukmu dan merasakan kulitku bersentuhan dengan tubuhmu!. Aku
ikhlas atas semua perilakumu wahai Rasulullah.” Seketika itu juga
terdengar ucapan, “Allahu Akbar” berkali-kali. Sahabat tersebut tahu,
bahwa permintaan Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam itu tidak mungkin diucapkan kalau Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam tidak
merasa bahwa ajalnya semakin dekat. Sahabat itu tahu bahwa saat
perpisahan semakin dekat, ia ingin memeluk Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam sebelum Allah
memanggil Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam ke hadirat-Nya.

Suatu pelajaran lagi buat kita. Menyakiti orang lain baik hati maupun
badannya merupakan perbuatan yang amat tercela. Allah tidak akan
memaafkan sebelum yang kita sakiti memaafkan kita. Rasul sallAllahu ‘alayhi wasallam pun sangat
hati-hati karena khawatir ada orang yang beliau sakiti. Khawatirkah
kita bila ada orang yang kita sakiti menuntut balas nanti di padang
Mahsyar di depan Hakim Yang Maha Agung ditengah miliaran umat
manusia? Jangan-jangan kita menjadi orang yang muflis. Na’udzu
billah…..

Nabi Muhammad sallAllahu ‘alayhi wasallam ketika saat haji Wada’, di padang Arafah yang terik,
dalam keadaan sakit, masih menyempatkan diri berpidato. Di akhir
pidatonya itu Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam dengan dibalut sorban dan tubuh yang menggigil
berkata, “Nanti di hari pembalasan, kalian akan ditanya oleh Allah
apa yang telah aku, sebagai Nabi, perbuat pada kalian. Jika kalian
ditanya nanti, apa jawaban kalian?” Para sahabat terdiam dan mulai banyak yang meneteskan air mata. Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam melanjutkan, “Bukankah telah kujalani hari-hari bersama kalian dengan lapar, bukankah telah kutaruh beberapa batu diperutku karena menahan lapar bersama kalian, bukankah aku telah bersabar menghadapi kejahilan kalian, bukankah telah kusampaikan pada kalian wahyu dari Allah…..?” Untuk semua pertanyaan itu, para sahabat menjawab, “Benar ya Rasul!”

Rasul sallAllahu ‘alayhi wasallam pun mendongakkan kepalanya ke atas, dan berkata, “Ya Allah
saksikanlah…Ya Allah saksikanlah…Ya Allah saksikanlah!”. Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam
meminta kesaksian Allah bahwa Nabi telah menjalankan tugasnya. Di
pengajian ini saya pun meminta Allah menyaksikan bahwa kita mencintai
Rasulullah sallAllahu ‘alayhi wasallam. “Ya Allah saksikanlah betapa kami mencintai Rasul-Mu,
betapa kami sangat ingin bertemu dengan kekasih-Mu, betapa kami
sangat ingin meniru semua perilakunya yang indah; semua budi
pekertinya yang agung, betapa kami sangat ingin dibangkitkan nanti di
padang Mahsyar bersama Nabiyullah Muhammad, betapa kami sangat ingin
ditempatkan di dalam surga yang sama dengan surganya Nabi kami. Ya
Allah saksikanlah…Ya Allah saksikanlah Ya Allah saksikanlah”


*)Nadirsyah Hosen Dewan Asaatiz Pesantren Virtual

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Web Host